Butet Kartaredjasa

Butet Kartaredjasa lahir pada 1961 di Yogyakarta. Ia pernah belajar seni rupa di STSRI "ASRI" (kini Institut Seni Indonesia) dan anggota Sanggar Bambu di Yogyakarta.


Butet Kartaredjasa dikenal sebagai aktor panggung kawakan. Karier keaktorannya terentang di dunia teater sejak 1980-an, kemudian layar kaca dan film. Dalam sebuah lakon terkenal yang dipentaskan oleh Teater Gandrik, Yogyakarta berjudul Dhemit (1988), untuk pertama kalinya Butet menirukan suara dan logat khas Presiden Soeharto. Pada akhir 1990-an sampai awal 2000-an, ia menjadi sangat populer dengan pertunjukan-pertunjukan monolognya yang menirukan suara khas penguasa rezim Orde Baru itu. Demo-demo mahasiswa yang merebak menjelang Reformasi '98 menyediakan panggung politik yang riuh, penuh sindiran dan mencekam bagi si peniru suara Soeharto. Saking populernya, genre teater monolog diidentikkan oleh kebanyakan orang sebagai ''meniru suara Soeharto''. Lewat pertunjukan-pertunjukan yang naskahnya kebanyakan ditulis oleh Indra Tranggono dan Agus Noor seperti Lidah Pingsan (1997), Lidah Masih Pingsan (1998), Kompi Susu (1998) dan Mayat Terhormat (2003) nama Butet Kartaredjasa melambung sebagai aktor panggung yang piawai dengan pesan-pesan kritis, penuh satir sekaligus jenaka. Seperempat abad lalu, dalam sebuah esainya di koran nasional, Kompas (1998) almarhum Y.B. Mangunwijaya menjulukinya sebagai ''Raja Monolog''.


Akan tetapi Butet tidak meninggalkan dunia seni rupa. Ia berpameran tunggal di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (2017). Sejak pameran itu, seniman multitalenta ini makin giat di ranah seni rupa, menekuni karya-karya keramik, sketsa dan melukis.


Pamerannya di ARTJOG adalah perayaan dari karir panjang ''Raja Monolog'' di dunia panggung dan kecintaannya pada seni rupa. Belakangan, karya seni rupa yang dilakoni Butet Kartaredjasa merupakan ekspresi dari kepercayaannya atas praktik wirid dengan cara menuliskan nama lengkapnya sendiri: Bambang Ekoloyo Butet Kartaredjasa. Di dalam tradisi Islam tujuan mengamalkan wirid adalah demi meraih kebaikan-kebaikan dalam kehidupan. Dengan memraktikkan penulisan namanya sendiri secara berulang-ulang dan terus-menerus, kebaikan serta keberuntungan akan hadir pada kehidupan si pemilik nama. Wirid, seperti dzikir biasanya dilakukan melalui bimbingan seorang guru, usai shalat untuk semakin mendekatkan diri pada Allah SWT. Dua wujud praktik kesenian Butet yang menunjukkan orientasi yang berbeda dalam rentang seperempat abad ditampilkan di ruang ini. Pentas-pentas monolog yang sarat dengan pesan-pesan politis di ruang terbuka sejak akhir 1990-an kini berlanjut dengan monolog personal yang lebih intim dan tertutup lewat ekspresi wirid nama senimannya sendiri. Monolog internal berbau spiritual ini menghasilkan motif-motif grafis atau piktogram dalam karya-karya visualnya di pameran ini. 


Tim Persiapan

Artistik:
- Ong Hari Wahyu
- Doni Maulistya
- Feri Ludiyanto
- Abdilah Yusuf

Multimedia:
- Monica Raulla F. Ghiotto
- Daniel Greviola
- Evan Joris
- Giyan Putra Pratama

Audio:
- Hengga Tiyasa
- Alandaru Wicaksana
- Nanang Wicaksana

Pengelolaan:
- Sesuci
- Gregorius ST. Kostka