Niagara Falls, 1895
Orang-orang melihat air terjun dan berpikir tentang kekuatan yang tak tergenggam; tapi bagi Nikola Tesla, Niagara bukan sekadar pertunjukan alam. Ia adalah sumber tenaga yang bisa dibaca untuk kemudian dikendalikan. Di pagi dingin dan berkabut itu, Tesla berdiri di tepi geladak kayu yang basah, matanya memandangi pusaran air yang menghantam bebatuan. Mantelnya panjang dan gelap, seperti siluet pohon terbakar di musim salju. Di sampingnya, Sudarsana, lelaki Jawa yang datang dari Hindia Belanda, mengamati alat ukur dari kuningan, mencatat hasilnya dalam buku kecil bersampul kulit. Ia menyebut angka-angka dalam bahasa Belanda campur Jawa. Tesla mengernyit mendengarnya, entah mengapa itu mengingatkan pada mantra yang dilantunkan ibunya ketika hujan datang.
Tesla dan Sudarsana bukanlah kawan. Atau mungkin saja, belum. Namun mereka juga bukan rekan biasa. Keduanya dipertemukan oleh kebutuhan. Westinghouse, yang mendanai proyek besar itu, membutuhkan ahli hidrolik yang mengerti tekanan air dari sudut yang belum pernah tersentuh fisika Eropa. Tersebutlah Sudarsana— lulusan teknik sipil di Delft, dengan latar belakang lokal yang kaya akan pengetahuan tradisional air, tampak seperti pilihan tepat. Tesla tak sempat menolak, yang ia butuhkan adalah hasil, bukan perdebatan. Tapi dari awal ia tahu lelaki ini akan menjadi persoalan.
Turbin Niagara adalah proyek transmisi arus bolak-balik impian Tesla — mimpi tentang dunia yang diterangi oleh energi bersih, terdistribusi tanpa batasan kabel atau negara. Tapi ia juga tahu, jika itu gagal, reputasinya bisa hancur. Sedang di ujung koran, Thomas Edison sudah menunggunya dengan ejekan yang siap terlontar kapan saja. Mempertimbangkan semua itu, Tesla bekerja lebih keras dari biasanya, seperti kerasnya air yang menghantam tebing seribu tahun tanpa lelah. Bukan dari dinamo, ujian justru datang lewat ketenangan Sudarsana, pertanyaan-pertanyaan yang selalu ia ungkapkan, serta keberanian lelaki itu untuk mengatakan “tidak”.
Konflik pertama mereka terjadi pada minggu kedua, saat Tesla menunjukkan desain bilah turbin yang baru. Sudarsana lama memandang rancangan itu, lalu menggeleng. “Tuan memaksa air berputar melawan arah alaminya,” katanya. “Itu melawan nalurinya.”
Tesla mengernyit, menatap pria berkulit coklat setengah matang itu. “Air tidak punya naluri,” jawabnya.
“Ia bergerak karena hukum fisika. Jika kita bisa mengatur tekanan masuk dan sudut keluar, kita bisa memaksa alirannya lebih efisien.”
Sudarsana tak membalas. Ia hanya membuka buku catatannya, menunjukkan sketsa bendungan di tanah Jawa, yang memanfaatkan bentuk batu dan lengkungan alami sungai untuk mengarahkan air tanpa paksaan. “Saya belajar dari tanah saya,” katanya. “Air bisa bekerja untuk anda, jika anda tahu cara mengajaknya.”
Tesla mengerutkan dahi. “Aku tidak datang sejauh ini untuk berdiskusi tentang filosofi.”
Sudarsana menatapnya datar. “Aku pun tidak.”
Malam itu, mereka makan terpisah. Tesla di ruang makan hotel, Sudarsana di barak teknisi. Tapi pikiran mereka sama: tentang tekanan air, gesekan logam, juga ketegangan yang perlahan menggerogoti kerja sama antar keduanya.
Hari-hari berikutnya berjalan dengan ketidaknyamanan yang tak bisa dihindari. Sudarsana menyempurnakan sistem saluran masuk air, membuat celah-celah kecil untuk mengatur tekanan agar lebih stabil. Tesla tidak protes, tapi mencatat perubahan itu di buku log tanpa komentar. Mereka berbicara hanya jika perlu. Namun sesuatu dalam diam itu justru menunjukkan kesamaan keduanya: sama-sama canggung, sama-sama keras kepala, dan sama-sama tidak percaya pada kekuasaan. Tesla muak pada para investor dan konglomerat yang menunggangi ide untuk keuntungan semata. Sudarsana muak pada sistem kolonial yang menganggap ilmuwan seperti dirinya tak lebih dari pembantu berbaju jas.
Suatu malam, mereka berada di paviliun, hujan turun deras. Tesla sedang memperbaiki skema distribusi energi, dan Sudarsana menyusun ulang data aliran air. Tiba-tiba, listrik padam. Gelap menyelimuti ruangan. Hanya suara hujan dan napas yang terdengar. Tesla mengumpat pelan dalam bahasa Serbia. Sudarsana meraba-raba korek api, sampai kemudian lilin menyala.
Dalam cahaya kecil itu, Tesla mendongak dan bertanya, nyaris seperti lirikan seorang murid kepada gurunya: “Apakah kau benar-benar percaya bahwa air punya kehendak?”
Sudarsana tertawa kecil. “Tidak seperti manusia, tentu saja. Tapi ia punya ingatan. Ia pernah jatuh dari langit. Pernah meresap ke tanah. Pernah diam di danau. Air selalu tahu jalannya.”
Tesla menatap nyala api yang bergoyang. “Aku hanya percaya pada prinsip energi dan penguasaan medan magnet. Hukum yang bisa dihitung dan prediksi.”
Sudarsana mengangguk. “Barangkali itu perbedaan kita. Aku ingin bekerja sama dengan alam, sementara Tuan mau itu sepenuhnya ada di tangan Tuan.”
Untuk sesaat, mereka tidak berdebat.
Tapi pembicaraan semacam itu tak bertahan lama. Sebulan setelahnya, uji coba turbin mulai dilakukan untuk pertama kali. Bunyi mesin segera menggema, namun berselang kemudian bunyi itu berubah jadi serangkaian suara batuk raksasa. Getarannya terlalu besar. Sudut bilah tak sesuai dengan arus air di musim hujan. Sudarsana memperingatkan, tapi Tesla bersikeras menggunakan desain awal miliknya. Mesin terguncang hebat, baut terlepas, menyebabkan poros utama hampir patah. Kerusakan itu membuat pekerjaan tertunda dua minggu, dan Westinghouse mulai gelisah. Dalam rapat evaluasi, Tesla menuduh Sudarsana menyabotase sistem tekanan. Mendengar itu, Sudarsana hanya bisa menahan amarahnya dalam tatapan tajam.
“Sabotase adalah kata yang kalian gunakan saat kalian tak mau mengakui kesalahan sendiri,” katanya pelan. “Aku cuma ingin air itu tidak memberontak.”
Tesla berdiri. “Air tidak memberontak. Yang memberontak adalah orang-orang yang ingin memaksakan budaya mereka pada sains!”
Sejak saat itu, keduanya tak lagi berbicara kecuali lewat teknisi perantara.
Hingga tibalah hari itu — hari ketika gundukan es longsor di hulu bendungan sementara. Deru air meningkat mendadak . Struktur penyangga kayu tak kuat menahan beban. Para pekerja panik. Sistem pengunci utama belum siap. Jika air masuk tanpa kendali, seluruh struktur bisa runtuh dan membuat pekerjaan itu selesai sama sekali.
Sudarsana berlari ke atas menara pengatur. Tanpa menunggu, ia membuka saluran tambahan yang belum diuji. Tesla meneriakkan larangan dari bawah, tapi Sudarsana sudah melihat tanda-tanda retakan sejak semalam lalu. Ia tahu waktunya sempit. Dengan sekuat tenaga, ia memukul tuas pengatur. Air menyembur liar, lalu pelan-pelan stabil. Bunyi dentuman logam menggema, diikuti oleh keheningan berat yang mengendap.
Untunglah kejadian itu tak melukai siapa pun. Struktur selamat. Tapi harga yang dibayar adalah kesadaran Tesla bahwa kali ini air lebih percaya pada Sudarsana.
Beberapa minggu setelah itu, turbin baru dirancang. Bukan sepenuhnya milik Tesla, bukan pula milik Sudarsana. Tapi sesuatu di antara mereka — turbin yang tidak memaksa air melawan dirinya sendiri, namun tetap mengirim daya raksasa jauh ke Buffalo, ke Albany, ke Boston. Kota-kota menyala. Dunia pun berubah.
Nama Tesla ditulis di surat kabar, di jurnal ilmiah, di buku pelajaran. Westinghouse menerima tepuk tangan. Sudarsana disebut sekali, sebagai “asisten teknik dari Timur.” Tapi ia tak marah. Ia hanya menuliskan namanya di lembar belakang sketsa desain terakhir — dalam aksara Jawa kecil yang mungkin tak ada yang tahu cara membacanya kecuali dirinya sendiri dan satu orang lain.
Tesla menemukan tulisan itu seminggu sebelum Sudarsana kembali ke Batavia. Ia menyimpannya — dan untuk alasan yang tak pernah ia katakan pada siapa pun — menyelipkan sketsa itu di bawah bantalnya hingga ia meninggal dunia bertahun-tahun kemudian, sendirian di kamar Hotel New Yorker, ditemani bayangan air yang tak pernah tunduk.
Urubingwaru,
Yogyakarta, Juni 2025