Forced Interaction
2023 | acrylic on canvas
3 panels, 180 x 180 cm each
Forced Interaction
2023 | acrylic on canvas
3 panels, 180 x 180 cm each
Forced Interaction
2023 | acrylic on canvas
3 panels, 180 x 180 cm each
Forced Interaction
2023 | acrylic on canvas
3 panels, 180 x 180 cm each
Forced Interaction
2023 | acrylic on canvas
3 panels, 180 x 180 cm each
Forced Interaction
2023 | acrylic on canvas
3 panels, 180 x 180 cm each
Evi Pangestu lahir pada 1992 di Jakarta. Belajar seni rupa di Jurusan Seni Lukis, Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta, Birmingham School of Art dan Royal College of Art di Inggris. Menetap di Jakarta dan London.
Motif utama lukisan-lukisan Evi adalah bidang segi empat dengan warna kuning khas fluoresen yang memancar. Dengan kata lain, motif bukanlah gambaran visual tertentu yang dihadirkan di atas permukaan kanvas, melainkan konstruksi segi empat dan warna minimal itu sendiri sebagai prinsip dasar wahana seni lukis.
Warna fluoresen memiliki gelombang yang lebih panjang dibandingkan warna biasa. Salah satu efek yang ditimbulkannya adalah ketegangan pada mata. Rangsangan visual yang muncul dari lukisan Evi adalah pola-pola segi empat yang konsisten yang "memancarkan" pengendalian, keteraturan dan khaos yang terserap kembali ke dalam pola-pola tersebut. Sebagian, hal ini adalah respons seniman sendiri atas kecenderungan diseleksia yang dialaminya, yakni gejala non-neurologis yang berlangsung saat membaca. Gangguan diseleksia dalam bahasa, antara lain terjadi saat orang harus memahami tata bahasa dan Imbuhan pada kata.
"Imbuhan" pada struktur segi empat karya Evi adalah bagian samar yang seakan terintegrasi ke dalam arena lukisan itu sendiri. Dalam kata-kata Evi, itulah metafora dari pemberontakan dan kontrol. Evi menulis: "Setiap lukisan dimulai dengan bingkai persegi empat yang direkonstruksi menjadi bentuk baru dengan menambahkan bahan dasar, menciptakan tegangan permukaan saat direntangkan dengan kanvas. Warna bertindak sebagai agen pengoreksian yang mengedepankan bentuk persegi pada permukaan yang dimodifikasi. [...] Saya bermain-main dengan bahan dan proses melukis itu sendiri. Saya selalu mulai dengan bingkai terstruktur—bujur sangkar sempurna—lalu mengubahnya dengan cara menambah atau mengurangi dari bahan-bahan yang sudah ada. Dan kemudian saya melukis bentuk persegi yang lain di atasnya sebagai elemen kontras. [...] Saya tertarik dengan ide adaptasi di dunia yang membutuhkan seseorang untuk menyesuaikan diri demi bertahan hidup, bagaimana perselisihan dan ketidaktaatan terjadi tetapi kita menyesuaikan diri untuk tetap berada di dalamnya."
Pada lukisan Evi orang dapat berimajinasi bahwa segala sesuatu yang bukan persegi adalah penyimpangan. Namun ironisnya, dalam sejarah seni lukis, bentuk persegi juga dianggap pemberontakan atas format lukisan potret atau lanskap.